Sabtu, 29 Desember 2012

Kapan Dibolehkan Mengqoshor Shalat?


Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya. Namun bolehkah ketika sudah berniat safar dan masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat? Jawabannya, tidak boleh. Ia masih harus menunaikan shalat secara sempurna (tanpa mengqoshor).

Ketika ia sudah berpisah dari negerinya, baru ia mulai boleh mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Aku pernah shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar, pen) sebanyak empat raka’at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan sebanyak dua raka’at.[1]

Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat?

Berapa Jarak yang Sudah Dikatakan Bersafar?


Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 48 mil (85 km). Sebagian lainnya berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah apabila menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan menggunakan unta.

Namun pendapat yang tepat dalam masalah ini, tidak ada batasan tertentu untuk jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Seseorang boleh mengqoshor shalat selama jarak tersebut sudah dikatakan safar, entah jarak tersebut dekat atau pun jauh (meskipun hanya 60 km). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan dalam hal ini. Begitu pula secara bahasa, tidak disebutkan pula batasannya. Sehingga yang dijadikan patokan adalah ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat.

Jika di masyarakat menganggap bahwa perjalanan dari kota A ke kota B sudah disebut safar, maka boleh di sana seseorang mengqoshor shalat dan boleh baginya mengambil keringanan safar lainnya.

Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. Inilah pendapat yang dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama Zhohiriyah.[1]

[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/479-481.

http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3176-serial-mudik-5-tujuh-permasalahan-seputar-safar.html