Sabtu, 29 Desember 2012

Kapan Dibolehkan Mengqoshor Shalat?


Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya. Namun bolehkah ketika sudah berniat safar dan masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat? Jawabannya, tidak boleh. Ia masih harus menunaikan shalat secara sempurna (tanpa mengqoshor).

Ketika ia sudah berpisah dari negerinya, baru ia mulai boleh mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Aku pernah shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar, pen) sebanyak empat raka’at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan sebanyak dua raka’at.[1]

Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat?


Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ulama lainnya mengatakan bahwa jika berniat mukim 15 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa selama 20 hari boleh mengqoshor shalat, namun jika lebih dari itu tidak diperbolehkan lagi.

Ada pula pendapat lainnya sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, walaupun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat.

Jadi, safar sebenarnya tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqoshor shalat selama 18, 19, atau 20 hari, itu semua dilakukan karena beliau adalah seorang musafir.
Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir.[2]


[1] HR. Bukhari no. 1089.
[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/482-487

http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3176-serial-mudik-5-tujuh-permasalahan-seputar-safar.html


2 komentar: